BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Kamis, 24 Maret 2011

Dampak Globalisasi terhadap Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara

1. Dampak Globalisasi dalam Bidang Ekonomi

Bagi kalangan yang sangat optimis terhadap globalisasi, seperti Thomas L. Friedman dan beberapa tokoh lainnya, globalisasi adalah satu-satunya jalan yang dapat digunakan manusia untuk mendapatkan standar hidup yang lebih baik. Runtuhnya berbagai sistem ekonomi yang menjadi rival kapitalisme, telah meyakinkan sebagian kelompok ini bahwa globalisasi dan liberalisasi pasartelah menawarkan alternatif bagi pencapaian standar hidup yang lebih tinggi, kehidupan yang lebih baik, dan efisiensi ekonomi, sesuatu yang tidak dapat diberikan oleh sosialisme maupun komunisme.
Namun, pandangan-pandangan dari kelompok ini tidak dapat memberi penjelasan yang cukup memadai mengenai semakin melebarnya ketimpangan distribusi pendapatan antara negara-negara kaya dengan negara-negara miskin. Bahkan, seiring dengan globalisasi, pendapatan di negara-negara Dunia Ketiga atau negara-negara yang kurang berkembang jauh lebih menurun dibandingkan dengan era tahun 1960-an dan 1970-an. Sebaliknya, negara-negara industri maju semakin menikmati kelimpahan pendapatan dan standar hidup yang jauh lebih tinggi. Ini karena globalisasi dengan liberalisasi dan perdagangan bebasnya, selain menawarkan suatu alternatifjalan yang lebih mudah untuk meningkatkan standar hidup dan efisiensi ekonomi, tetapi juga membuka peluang terjadinya penumpukan kekayaan dan monopoli usaha dan kekuasaan politik pada segelintir orang atau kelompok yang sering disebut sebagai elite-elite internasional.
Kesuksesan kapitalisme Barat di era globalisasi ini telah didukung pula oleh lembaga-lembaga ekonomi dunia, seperti Bank Dunia (World Bank), Dana Moneter Internasional (International Monetery Fund/IMF), Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO), kelompok negara-negara G-8, serta perusahaan-perusahaan multinasional dan transnasional. Organisasi-organisasi tersebut demikian berpengaruhnya dalam menciptakan tata ekonomi kapitalis dan dibutuhkan oleh banyak negara, terutama negara yang sedang menghadapi kesulitan ekonomi, seperti Indonesia, Argentina, Afghanistan, Irak, Brazil, dan Kamboja.
Bahkan menurut Joseph E. Stiglitz, peraih Nobel Ekonomi 2001, dalam bukunya Globalization and Its Discontent menyebutkan bahwa IMF dan Bank Dunia bahu-membahu mengusung neoliberalisme dan neokolonialisme di muka bumi. Kritik Stiglitz yang pernah menjadi Wakil Presiden Bank Dunia ini menggarisbawahi, tentang kebijakan IMF, teruta ma di negara-negara miskin. dibuat tanpa memerhatikan kesiapan costal, politik, dan kelembagaan sebuah negara.
Kecenderungan-kecenderungan globalisasi dalam bidang ekonomi juga terlihat dari munculnya perusahaan-perusahaan multinasional dan transnasional. Perusahaan-perusahaan tersebut tidak hanya dimiliki oleh individu, tetapijuga oleh masyarekat di seluruh dunia melalui penjualan saham dan bursa efek. Kegiatan operasional perusahaannya pun tersebar di berbagai kawasan Junta. Sebagai contoh. perusahaan minuman Coca-cola dan restoran last food (makanan siapsaji) McDonalds yang berpusat di Amerika Serikat, telah membuka cabangnya di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Hal Yang samajuga dilakukan oleh perusahaan perusahaan besar lainnya, seperti IBM, General Motors, Shell, British Petroleum, Freeport, Sony, dan Honda. Perusahaan-perusahaan ini mempunyai banyak cabang di luar negeri, mereka mempunyai sumber dana, teknologi, dan kemampuan lobi yang hampir tiada bandingnya. Keberadaan perusahaan multinasional dan transnasional tersebut beserta investasi yang mereka bawa menjadi harapan banyak negara, baik miskin maupun kaya. Investasi yang mereke tanamkan sangat diharapkan untuk melakukan pembangunan dan memacu pertumbuhan ekonomi, menyediakan lapangan kerja, dan dengan demikian meningkatkan taraf hidup masyarakat.
2. Dampak Globalisasi dalam Bidang Sosial Budaya
Melalui arus informasi dan komunikasi, telah membuat makin globalnya berbagai nilai budaya kaum kapitalis dalam masyarakat dunia. Gaya berpakaian warga kota-kota besar di negara-negara berkembang tidak dapat dibedakan dengan gaya berpakaian warga kota di Amerika Serikat dan Eropa. Celana jeans dan potongan rambut, misalnya, telah menunjukkan betapa globalisasi telah memengaruhi
warga dunia. Demikian pula jenis musik jazz dan rock, turut pula menjadi “budaya dunia”. Di samping jenis makanan Italia (seperti pizza), Amerika Serikat (seperti kentucky fried chicken) dan Eropa lainnya, tumbuh pula “budaya lain” seperti chopstick (sumpit), sushi (jenis makanan Jepang), noodle (mi), yang tadinya jenis makanan yang sangat lokal (nasional), sekarang telah menjadi “budaya dunia”.
Hal yang sama juga terjadi di dunia hiburan, di mana film-film Hollywood (seperti Mickey Mouse dan Donald Duck, dan James Bond) dapat dinikmati oleh warga masyarakat di berbagai dunia, termasuk negara-negara yang tadinya anti-Barat, seperti Afghanistan setelah rezim Taliban terguling. Menjamurnya produksi film dan musik dalam bentuk kepingan CD/VCD atau DVD di berbagai kota di dunia, telah menunjukkan gaya hidup yang diciptakan oleh kaum kapitalis menjadi gaya hidup global. Kehidupan seks bebas (free sex), sekuralisme, individualisme, konsumerisme, gaya hidup mewah, sudah menjadi gaya hidup global pula. Oleh karena itu, kita harus bersikap waspada dan selektif dalam menghadapi keragaman budaya dunia tersebut.
3. Dampak Globalisasi dalam Bidang Politik
Dampak globalisasi dalam bidang politik, antara lain, adalah negara tidak lagi dianggap sebagai pemegang kunci dalam proses pembangunan. Pasca-Perang Dunia kedua, banyak negara baru muncul dan menjadi negara nasional yang berdaulat. Negara-negara baru ini, yang kemudian sering disebut sebagai negara-negara sedang berkembang (developing countries) atau negara-negara dunia ketiga (the third world), dihadapkan pada dua masalah utama, yakni kehancuran ekonomi akibat perang dan penjajahan, dan masalah identitas nasional sebagai negara bangsa (nation building).
Di bidangsosial dan ekonomi, negara-negara yang baru merdeka ini dihadapkan pada rendahnya pendapatan perkapita yang berarti juga kemiskinan pada sebagian besar penduduk yang tinggal di daerah pedesaan, kondisi kesehatan yang berada di bawah standar, demikian juga halnya dengan sarana pendidikan yang kurang memadai. Di sisi yang lain, sebagian besar masyarakatnya hidup dari pertanian tradisional. Industri tidak berkembang karena penjajahan membuat mereka tidak mempunyai kesempatan untuk melakukan pembangunan. Akibatnya, dibandingkan dengan negara-negara Eropa (yang sebagian besar adalah negara penjajah mereka), mereka jauh tertinggal di belakang.
Dihadapkan pada masalah-masalah ini, para pengambil kebijakan publik di negara sedang berkembang mengambil jalan pembangunan untuk mengatasi masalah-masalah tersebut, dan dalam rangka mengejar ketertinggalan mereka dengan negara-negara Eropa dan Amerika Serikat yang lebih maju. Selain itu, juga ditujukan untuk membangun legitimasi kekuasaan mereka yang masih rapuh. Para penguasa baru ini berharap bahwa melalui pembangunan ekonomi, mereka akan mendapatkan legitimasi yang kuat untuk memerintah sebagian besar rakyatnya.
Dihadapkan pada kemiskinan penduduk yang sebagian besar tinggal di daerah pedesaan, para elite politik di negara-negara berkembang terdorong untuk segera melakukan pembangunan. Pada periode 1950-an dan 1960-an, hampir sebagian besar negara sedang berkembang, bahkan termasuk Jepang yang kalah dalam Perang Dunia kedua, menyusun berbagai strategi untuk melakukan pembangunan ekonomi dalam rangka mengejar pertumbuhan ekonomi dan memperbaiki taraf kehidupan rakyat.
Kondisi inilah yang membuat peran negara begitu signifikan dalam pembangunan. Demikian juga yang terjadi di Eropa Barat selama Program Marshall Plan, negara menjadi salah satu aktor dominan dalam pembangunan ekonomi. Indonesia, misalnya, dalam masa pemerintahan Orde Baru mengembangkan rencana pembangunan lima tahun (Repelita) yang ditujukan untuk pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.
Perubahan peran negara bangsa dalam pembangunan bergaung pada tahun 1970-an, dimana pengurangan intervensi negara dalam pembangunan ekonomi dan menyerahkan mekanisme ini sepenuhnya pada pasar. Sekarang ini, liberalisasi perdagangan dan globalisasi ekonomi telah menjadi ciri khas perekonomian abad ini. Setiap negara bangsa harus melakukan reorientasi menyangkut paradigma pembangunan mereka. Mereka tidak mungkin mengambil jalan ekstrim dengan menerapkan kebijakan proteksi ketat terhadap pasar dan mengisolasi diri dari perekonomian internasional. Cina, misalnya, yang bertahun-tahun melakukan proteksi ketat terhadap pasar dalam negeri lambat-laun mulai membuka diri dengan pasar internasional. Hasilnya dalam lebih kurang 10 tahun hingga 20 tahun ke depan, Cina diprediksi akan menjadi kekuatan ekonomi politik yang signifikan.
Dampak globalisasi di bidang politik lainnya adalah timbulnya gelombang demokratisasi di sejumlah negara di Asia, Afrika, Amerika Latin, dan Eropa Timur. Setelah berakhirnya Perang Dingin dan runtuhnya komunisme, dambaan akan kebebasan dan keinginan untuk menegakkan demokrasi memacu perubahan politik di banyak negara. Rezim-rezim otoriter apa pun warna politiknya tumbang satu per satu dilanda arus perubahan ini.
Angin demokratisasi berdampak bagi masyarakat Cina dengan munculnya tuntutan kebebasan demokrasi pada tahun 1989. Peristiwa berdarah yang dikenal dengan “Peristiwa Tiananmen” tersebut berakhir dengan bentrokan dengan aparat keamanan yang menewaskan ribuan mahasiswa dan pemuda. Di Filipina, rakyat melakukan gerakan sosial (people power) dan berhasil menggulingkan rezim diktator Ferdinand Marcos pada tahun 1986. Pada tahun 1991, politik apartheid dihapuskan di Afrika Selatan. Perubahan yang sama juga terjadi di Eropa Timur, rakyat melakukan demonstrasi menggulingkan rezim komunis yang berkuasa. Kasus serupa juga terjadi di Indonesia, yaitu dengan runtuhnya rezim pemerintahan Orde Baru pada tahun 1998.


Rabu, 16 Maret 2011

Perkembangan Budaya Di Indonesia

Budaya di Indonesia

Secara garis besar kebudayaan Indonesia dapat kita klasifikasikan dalam dua kelompok besar. Yaitu Kebudayaan Indonesia Klasik dan Kebudayaan Indonesia Modern. Para ahli kebudayaan telah mengkaji dengan sangat cermat akan kebudayaan klasik ini. Mereka memulai dengan pengkajian kebudayaan yang telah ditelurkan oleh kerajaan-kerajaan di Indonesia. Sebagai layaknya seorang pengkaji yang obyektif, mereka mengkaji dengan tanpa melihat dimensi-dimensi yang ada dalam kerajaan tersebut. Mereka mempelajari semua dimensi tanpa ada yang dikesampingkan. Adapun dimensi yang sering ada adalah seperti agama, tarian, nyanyian, wayang kulit, lukisan, patung, seni ukir, dan hasil cipta lainnya.
Seorang pengamat memberikan argumennya tentang kebudayaan indonesia modern. Dia mengatakan bahwa kebudayaan Indonesia modern dimulai ketika bangsa Indonesia merdeka. Bentuk dari deklarasi ini menjadikan bangsa Indonesia tidak dalam kekangan dan tekanan. Dari sini bangsa Indonesia mampu menciptakan rasa dan karsa yang lebih sempurna.
Kebudayaan Indonesia yang multikultur seperti itu, ketika dikaji dari sisi dimensi waktu, dapat dibagi pula pengertiannya :
1.Pertama, kebudayaan (Indonesia) adalah kebudayaan yang sudah terbentuk. Definisi ini mengarah kepada pengertian bahwa kebudayaan Indonesia adalah keseluruhan pengetahuan yang tersosialisasi/internalisasi dari generasi-generasi sebelumnya, yang kemudian digunakan oleh umumnya masyarakat Indonesia sebagai pedoman hidup. Jika dilacak, kebudayaan ini terdokumentasi dalam artefak/atau teks. Melihat kebudayaan dari sisi ini, kita akan mudah terjebak kepada dua hal. Pertama, apa yang sudah ada itu diterima sebagai sesuatu yang sudah baik bahkan paripurna. Ungkapan seperti kebudayaan Jawa adalah kebudayaan yang adiluhung, merupakan contoh terbaiknya. Di sini, apa yang disebut kebudayaan adalah dokumen text (Jawa termasuk sastra-sastra lisan) yang harus dijadikan pedoman kalau kita tidak ingin kehilangan ke-jawa-annya. Ungkapan: “ora Jawa” atau “durung Jawa” adalah ungkapan untuk menilai laku (orang Jawa) yang sudah bergeser dari text tersebut.
2.Kedua, kebudayaan (Indonesia) adalah kebudayaan yang sedang membentuk. Pada definisi kedua ini menjelaskan adanya kesadaran bahwa sebetulnya, tidak pernah (baca: terlalu sedikit) ada masyarakat manapun di dunia ini yang tidak bersentuhan dengan kebudayaan dan peradaban lain, termasuk kebudayaan Indonesia atau kebudayaan Jawa. Hanya saja ada pertanyaan serius untuk memilih definisi kedua ini, yaitu bagaimana lalu kebudayaan kita berdiri tegak untuk mampu menyortir berbagai elemen kebudayaan asing yang cenderung capitalism yang notabene, dalam batas-batas tertentu, negative (baca: tidak cocok)? Pada saat yang sama, kebudayaan global yang kapitalistik itu, telah masuk ke berbagai relung-relung kehidupan masyarakat “tanpa” bisa dicegah. Kalau begitu, pertanyaannya ialah: membatasi, menolak, atau mengambil alih nilai-nilai positif yang ditawarkan. Persoalan seperti ini dulu sudah pernah menjadi perdebatan para ahli kebudayaan, sebagaimana yang dilakukan oleh Armen Pane dkk versus Sutan Takdir Alisyahbana (Lihat pada buku Polemik Kebudayaan), dan sampai sekarang pun sikap kita tidak jelas juntrungnya.
3.Ketiga, adalah kebudayaan (Indonesia) adalah kebudayaan yang direncanakan untuk dibentuk. Ini adalah definisi yang futuristic, yang perlu hadir dan dihadirkan oleh warga bangsa yang menginginkan Indonesia ke depan HARUS LEBIH BAIK. Inilah yang seharusnya menjadi focus kajian serius bagi pemerhati Indonesia, wa bil khusus para mahasiswa dan dosen-dosen ilmu budaya.
Kondisi sosial budaya Indonesia saat ini adalah sebagai berikut :
1.Bahasa, sampai saat Indonesia masih konsisten dalam bahasa yaitu bahasa Indonesia. Sedangkan bahasa-bahasa daerah merupakan kekayaan plural yang dimiliki bangsa Indonesia sejak jaman nenek moyang kita. Bahasa asing (Inggris) belum terlihat popular dalam penggunaan sehari-hari, paling pada saat seminar, atau kegiatan ceramah formal diselingi denga bahasa Inggris sekedar untuk menyampaikan kepada audien kalau penceramah mengerti akan bahasa Inggris.
2.Sistem teknologi, perkembangan yang sangat menyolok adalah teknologi informatika. Dengan perkembangan teknologi ini tidak ada lagi batas waktu dan negara pada saat ini, apapun kejadiannya di satu negara dapat langsung dilihat di negara lain melalui televisi, internet atau sarana lain dalam bidang informatika.
3.Sistem mata pencarian hidup/ekonomi. Kondisi pereko-nomian Indonesia saat ini masih dalam situasi krisis, yang diakibatkan oleh tidak kuatnya fundamental ekonomi pada era orde baru. Kemajuan perekonomian pada waktu itu hanya merupakan fatamorgana, karena adanya utang jangka pendek dari investor asing yang menopang perekonomian Indonesia.
4.Organisasi Sosial. Bermunculannya organisasi sosial yang berkedok pada agama (FPI, JI, MMI, Organisasi Aliran Islam/Mahdi), Etnis (FBR, Laskar Melayu) dan Ras.
5.Sistem Pengetahuan. Dengan adanya LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) diharapkan perkembangan pengetahuan Indonesia akan terus berkembang sejalan dengan era globalisasi.
6.Religi. Munculnya aliran-aliran lain dari satu agama yang menurut pandangan umum bertentangan dengan agama aslinya. Misalnya : aliran Ahmadiyah, aliran yang berkembang di Sulawesi Tengah (Mahdi), NTB dan lain-lain.
7.Kesenian. Dominasi kesenian saat ini adalah seni suara dan seni akting (film, sinetron). Seni tari yang dulu hampir setiap hari dapat kita saksikan sekarang sudah mulai pudar, apalagi seni yang berbau kedaerahan. Kejayaan kembali wayang kulit pada tahun 1995 – 1996 yang dapat kita nikmati setiap malam minggu, sekarang sudah tidak ada lagi. Seni lawak model Srimulat sudah tergeser dengan model Extravagansa. Untuk kesenian nampaknya paling dinamis perkembangannya.
8.Sedang menghadapi suatu pergeseran-pergeseran atau \”Shirf\” budaya. Hal ini mungkin dapat difahami mengingat derasnya arus globalisasi yang membawa berbagai budaya baru serta ketidak mampuan kita dalam membendung serangan itu dan mempertahankan budaya dasar kita.
2.DAMPAK BAGI MASYARAKAT
Kebudayaan Indonesia adalah serangkaian gagasan dan pengetahuan yang telah diterima oleh masyarakat-masyarakat Indonesia (yang multietnis) itu sebagai pedoman bertingkahlaku dan menghasilkan produks-produk kebudayaan itu sendiri. Hanya persoalannya, ide-ide dan pengetahuan masyarakat-masyarakat Indonesia juga mengalami perubahan-perubahan, baik karena factor internal maupun eksternal.
Berikut dampak kebudayaan Indonesia bagi masyarakat, antara lain:
1.Pengaruh Positif dapat berupa :
1.Peningkatan dalam bidang sistem teknologi, Ilmu Pengetahuan, dan ekonomi.
2.Terjadinya pergeseran struktur kekuasaan dari otokrasi menjadi oligarki.
3.Mempercepat terwujudnya pemerintahan yang demokratis dan masyarakat madani dalam skala global.
4.Tidak mengurangi ruang gerak pemerintah dalam kebijakan ekonomi guna mendukung pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
5.Tidak berseberangan dengan desentralisasi.
6.Bukan penyebab krisis ekonomi.
2.Pengaruh Negatif berupa :
1.Menimbulkan perubahan dalam gaya hidup, yang mengarah kepada masyarakat yang konsumtif komersial. Masyarakat akan minder apabila tidak menggunakan pakaian yang bermerk (merk terkenal).
2.Terjadinya kesenjangan budaya. Dengan munculnya dua kecenderungan yang kontradiktif. Kelompok yang mempertahankan tradisi dan sejarah sebagai sesuatu yang sakral dan penting (romantisme tradisi). Dan kelompok ke dua, yang melihat tradisi sebagai produk masa lalu yang hanya layak disimpan dalam etalase sejarah untuk dikenang (dekonstruksi tradisi/disconecting of culture).
3.Sebagai sarana kompetisi yang menghancurkan. Proses globalisasi tidak hanya memperlemah posisi negara melainka juga akan mengakibatkan kompetisi yang saling menghancurkan.
4.Sebagai pembunuh pekerjaan. Sebagai akibat kemajuan teknologi dan pengurangan biaya per unit produksi, maka output mengalami peningkatan drastis sedangkan jumlah pekerjaan berkurang secara tajam.
5.Sebagai imperialisme budaya. Proses globalisasi membawa serta budaya barat, serta kecenderungan melecehkan nilai-nilai budaya tradisional.
6.Globalisasi merupakan kompor bagi munculnya gerakan-gerakan neo-nasionalis dan fundamentalis.. Proses globalisasi yang ganas telah melahirkan sedikit pemenang dan banyak pecundang, baik pada level individu, perusahaan maupun negara. Negara-negara yang harga dirinya diinjak-injak oleh negara-negara adi kuasa maka proses globalisasi yang merugikan ini merupakan atmosfer yang subur bagi tumbuhnya gerakan-gerakan populisme, nasionalisme dan fundamentalisme.
7.Malu menggunakan budaya asli Indonesia karena telah maraknya budaya asing yang berada di wilayah Indonesia.
Sumber : http://piyapoenya.blogspot.com/2010/01/perkembangan-budaya-indonesia.html