BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Sabtu, 30 Oktober 2010

Tugas ISD Artikel Masyarakat

Masalah-masalah masyarakat :

Pendidikan

Pendidikan adalah proses membuat orang berbudaya dan beradab. Pendidikanadalah kunci bagi pemecahan masalah-masalah sosial dan melalui pendidikan masyarakat dapat direkonstruksi. Rekonstruksi berarti reformasi budaya, dengan melalui pendidikan reformasi dapat dijalankan, terutama reformasi budi pekerti, reformasi kebudayaan (keindonesiaan), dan reformasi nasionalisme (NKRI).Tolstoy berpendapat sasaran puncak pendidikan ada di luar pendidikan(Achambault, dalam Freire, 2001:491), yaitu kebudayaan. Tolstoy beranggapan nilainilai masyarakat “beradab” akan tetap bertahan meski dihujani aneka ragam konflik atau ajang klaim-klaim yang saling bertentangan.

Sekarang ini makin sulit untuk masyarakat miskin bersekolah, karena kurangnya perhatian pemerintah terhadap pendidikan. Bagaimana bisa bangsa ini menjadi bangsa yang pintar juga persentase anak tak bersekolah lebih tingi dari yang bersekolah. Guru harus membina siswa agar bisa memiliki kebiasaan hidup yang harmonis, bersahabat, dan akrab dengan sesama teman dari berbagai latar belakang etnik. Proses pembelajaran di kelas multietnikdapat menghasilkan peradaban baru sesuai dengan harapan reformasi. Untuk ini, dapat dipakai teori, model, strategi pengajaran multietnik sebagai sarana menjalankan reformasi pendidikan dan kebudayaan (lihat Wakhinudin, 2006). Implementasi strategi pengajaran multietnik di kelas hendaklah bertujuan pembentukan peradaban bangsa Indonesia yang mulia. Sampai saat ini, pengajaran multietnik belum dilegalisasikan oleh pemerintah.
Pengajaran bahasa daerah dilaksanakan dalam format restorasi (menjaga bahasa/budaya dari kepunahan) dan bukan dalam format pluralisme (mengakui perbedaan bahasa). Dengan format tersebut, pengajaran bahasa daerah lebih terkesan otoriter dan cenderung mengabaikan fakta keragaman etnik di dalam kelas.

GIZI

Sekitar 37,3 juta penduduk hidup di bawah garis kemiskinan, separo dari total rumah tangga mengonsumsi makanan kurang dari kebutuhan sehari-hari, lima juta balita berstatus gizi kurang, dan lebih dari 100 juta penduduk berisiko terhadap berbagai masalah kurang gizi. Itulah sebagian gambaran tingkat kesejahteraan rakyat Indonesia yang perlu mendapat perhatian sungguh-sungguh untuk diatasi. Apalagi Indonesia sudah terikat dengan kesepakatan global untuk mencapai Millennium Development Goals (MDG's) dengan mengurangi jumlah penduduk yang miskin dan kelaparan serta menurunkan angka kematian balita menjadi tinggal separo dari keadaan pada tahun 2000.
Permintaan pangan yang tumbuh lebih cepat dari produksinya akan terus berlanjut. Akibatnya, akan terjadi kesenjangan antara kebutuhan dan produksi pangan domestik yang makin lebar. Penyebab utama kesenjangan itu adalah adanya pertumbuhan penduduk yang masih relatif tinggi, yaitu 1,49 persen per tahun, dengan jumlah besar dan penyebaran yang tidak merata.
Pada bayi dan anak balita, kekurangan gizi dapat mengakibatkan terganggunya pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan spiritual. Bahkan pada bayi, gangguan tersebut dapat bersifat permanen dan sangat sulit untuk diperbaiki. Kekurangan gizi pada bayi dan balita, dengan demikian, akan mengakibatkan rendahnya kualitas sumber daya manusia. Oleh karena itu pangan dengan jumlah dan mutu yang memadai harus selalu tersedia dan dapat diakses oleh semua orang pada setiap saat. Bahasan tersebut menggambarkan betapa eratnya kaitan antara gizi masyarakat dan pembangunan pertanian. Keterkaitan tersebut secara lebih jelas dirumuskan dalam pengertian ketahanan pangan (food security) yaitu tersedianya pangan dalam jumlah dan mutu yang memadai dan dapat dijangkau oleh semua orang untuk hidup sehat, aktif, dan produktif.

Berdasarkan data Susenas, prevalensi gizi buruk dan kurang pada balita telah berhasil diturunkan dari 35,57 persen tahun 1992 menjadi 24,66 persen pada tahun 2000. Namun, terdapat kecenderung peningkatan kembali prevalensi pada tahun-tahun berikutnya. Selain itu, jika melihat pertumbuhan jumlah penduduk dan proporsi balita pada dari tahun ke tahun, sebenarnya jumiah balita penderita gizi buruk dan kurang cenderung meningkat. Kronisnya masalah gizi buruk dan kurang pada balita di Indonesia ditunjukkan pula dengan tingginya prevalensi anak balita yang pendek (stunting <-2 SD). Masih sekitar 30-40 persen anak balita di Indonesia diklasifikasikan pendek. Tingginya prevalensi gizi buruk dan kurang pada balita, berdampak juga pada gangguan pertumbuhan pada anak usia baru masuk sekolah. Pada tahun 1994 prevalensi gizi kurang menurut tinggi badan anak usia 6-9 tahun adalah 39,8 persen dan hanya berkurang sebanyak 3,7 persen, yaitu menjadi 36,1 persen pada tahun 1999.
Masalah gizi lainnya yang cukup penting adalah masalah gizi mikro, terutama untuk kurang vitamin A, kurang yodium, dan kurang zat besi. Meskipun berdasarkan hasil survei nasional tahun 1992 Indonesia dinyatakan telah bebas dari xerophthalmia, masih 50 persen dari balita mempunyai serum retinol <20 mcg/100 ml, yang berarti memiliki risiko tinggi untuk munculnya kembali kasus xeropthalmia. Sementara prevalensi gangguan akibat kurang yodium (GAKY) pada anak usia sekolah di Indonesia adalah 30 persen pada tahun 1980 dan menurun menjadi 9,8 persen pada tahun 1998. Walaupun terjadi penurunan yang cukup berarti, GAKY masih dianggap masalah kesehatan masyarakat, karena secara umum prevalensi masih di atas 5 persen dan bervariasi antar wilayah, dimana masih dijumpai kecamatan dengan prevalensi GAKY di atas 30 persen. Diperkirakan sekitar 18,16 juta penduduk hidup di wilayah endemik sedang dan berat; dan 39,24 juta penduduk hidup di wilayah endemis ringan. Masalah berikutnya adalah anemia gizi akibat kurang zat besi. Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) menunjukkan bahwa prevalensi anemia pada ibu hamil adalah 50,9 persen pada tahun 1995 dan turun menjadi 40 persen pada tahun 2001, sedangkan pada wanita usia subur 15-44 tahun masing-masing sebesar 39,5 persen pada tahun 1995 dan 27,9 persen pada 2001.

Tarif listrik

Di Indonesia tarif listrik diberlakukan sama untuk seluruh daerah sehingga tarif itu tidak menunjukkan korelasi yang jelas dengan suplai, permintaan, dan biaya operasional untuk memproduksi listrik. Seperti diketahui, biaya produksi lebih tinggi di wilayah-wilayah pedalaman dan jauh, seperti di Papua, dan lebih rendah di wilayah yang dekat dengan jaringan pembangkit listrik utama di Jawa dan Bali.
Tarif yang berlaku sama itu sebenarnya hanya memindahkan kelebihan uang yang dibayarkan untuk listrik di Jawa-Bali kepada masyarakat di Papua yang membayar kurang dari biaya produksi di sana. Hal yang sama berlaku pada jaringan di Jawa-Bali sendiri, di mana daya listrik mengalir dari timur yang berlebihan suplai, ke barat (Jakarta) yang tidak mempunyai cukup suplai untuk memenuhi permintaan.
Daya listrik itu dialirkan melalui jalur transmisi ekstra tegangan tinggi yang terputus pada saat pemadaman. Pertama, memutuskan Jawa Timur dari Jawa Barat, yang menyebabkan pembangkit listrik di Suralaya dimatikan karena kelebihan beban yang disebabkan banyaknya permintaan.
Kedua, memaksa pembangkit listrik Paiton di Jawa Timur dimatikan karena memproduksi terlalu banyak daya berlebih. Hilangnya daya di pembangkit Suralaya inilah yang menyebabkan sistem Jawa Barat kolaps. Penyelidikan Komisi VII dan tim investigasi pemadaman listrik hendaknya mencermati mengapa PLN tak membatasi tambahan permintaan listrik di Jawa Barat sebelum terjadi pemadaman. Memangkas permintaan listrik dapat melindungi pembangkit Suralaya dari pemutusan otomatis.
Jika konsumen membayar dengan harga tinggi di Jawa Barat dan harga rendah di Jawa Timur, permintaan akan menurun di Jawa Barat dan meningkat di Jawa Timur sehingga pembangkit listrik tidak perlu dimatikan dan pemadaman tidak terjadi.
Seorang manajer yang baik adalah yang mengatakan, ”Biarkan saya memecahkan masalah dengan sumber daya yang saya punya”, bukan malah berkata, ”Berikan saya sumber daya untuk memecahkan masalah”. Dengan demikian, pemecahan masalah yang paling mendasar adalah bukan dengan membangun jalur transmisi lain di sepanjang selatan Jawa dengan tetap memberlakukan tarif listrik yang sama sehingga menyebabkan pembangunan yang berlebih di Jawa Barat atas pengeluaran Jawa Timur. Bahkan jika jalur itu dibangun, hanya konsumen di Jawa Barat yang harus membayarnya.
 
Kemiskinan Masyarakat pesisir

Keterbelakangan dan kemiskinan bukanlah cerita baru bagi masyarakat pesisir. Berdasarkan ukurannya, kemiskinan dibagi menjadi dua kemiskinan absolute dan kemiskinan relative (Satria, 2002)6. Kemiskinan absolute adalah masyarakat yang secara alamiah benar-benar miskin berdasarkan ketentuan ukurannya. Sementara itu, kemiskinan relative merupakan kemiskinan dari suatu kelompok pendapatan bila dibandingkan dengan kelompok pendapatan lainnya
Kemiskinan yang merupakan indikator ketertinggalan masyarakat pesisir. ketertinggalan ini disebabkan paling tidak oleh tiga hal utama, yaitu : kemiskinan structural, kemiskinan super-struktural, dan kemiskinan kultural. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan karena pengaruh faktor atau variabel eksternal di luar individu.Kemiskinan super-struktural adalah kemiskinan yang disebabkan karena variabelvariabel kebijakan makro yang tidak begitu kuat berpihak pada pembangunan nelayan.. Kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang disebabkan karena variabel-variabel yang melekat, inheren, dan menjadi gaya hidup tertentu (Nikijuluw dalam Die, 1996)7.
Kemiskinan kultural terjadi karena faktor internal, nelayan miskin karena kurangnya modal dan keterbatasan teknologi dan menajemen bahkan karena sifat malas yang dimiliki oleh nelayan yang menyebabkan dia miskin. Berbeda dengan kemiskinan cultural yang timbul dari intern, kemiskinan structural terjadi karena factor eksternal misalnya adanya hambatan bagi mobilitas vertical nelayan, tidak adanya dukungan dari pemerintah atau hubungan patron-klien yang masih bersifat asimetris.
Aspek  struktural menyebabkan lemahnya posisi nelayan atau pembudidaya ikan dalam pemasaran. Proses tawar menawar menyebabkan para nelayan sangat lemah dan tidak berdaya karena hasil produksi mereka yang masih minim. Selain itu, desakan kebutuhan yang memaksa nelayan untuk menerima tawaran harga dari pasar meskipun harga tersebut sangat merugikan nelayan. Sehingga kajian tentang pemberdayaan untuk mengatasi masalah para nelayan, kemiskinan dan keterbelakangan sangatlah penting.
Pemberdayaan merupakan upaya untuk mengaktualisasikan potensi yang dimiliki oleh masyarakat (Wahyono, 2001). Program pemberdayaan masyarakat adalah program yang seluruhnya melibatkan masyarakat, partisipasi masyarakat,dan berbasis masyarakat karena pihak luar hanya sebatas mendampingi dan memberikan alternative pemecahan masalah bagi masalah yang dihadapi masyarakat. Untuk melakukan pemberdayaan maka harus ada pengetahuan yang luas dan penguatan system lokal sehingga ide dan gagasan para nelayan patut didengarkan dengan baik.

Lemahnya Keterlibatan Stakeholder

Masalah yang muncul dari beberapa kelembagaan adalah memperlakukan masyarakat pesisir dengan cara dan sudut pandang secara sama. Sejatinya, masyarakat tidak dapat diperlakukan dengan sama dalam aturan-aturan yang sifatnya mekanistik karena masyarakat bukanlah mesin. Kegagalan yang terjadi dalam proses pembangunan yang terjadi di masyarakat pesisir disebabkan karena kebanyakan dari proyek pembangunan yang dilakukan untuk masyarakat pesisir adalah proyek yang berorientasi hasil dengan mengabaikan proses pembangunan dan kultur masyarakat pesisir. Selain itu, banyak dari pihak luar yang kurang antusias dan kurang simpati dalam keikutsertaan membangun sumberdaya wilayah pesisir dan memberdayakan masyarakat setempat.
Munculnya masalah tersebut disebabkan oleh lemahnya sistem dan tata cara koordinasi antar stakeholder karena belum didukung dengan adanya sistem hukum yang mengatur kegiatan tesebut. Selain itu, lemahnya kualitas sumber daya manusia yang mempengaruhi proses partisipatif menjadi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini sering berdampak pada munculnya ketidak-sepahaman dan konflik penggunaan ruang antar stakeholder dalam rangka menjaga keseimbangan keberlanjutan sumberdaya alam yang berada di sekitar wilayah pesisir dan laut. Oleh karena itu, tekait dengan permasalahan-permasalahan tersebut di atas pengkajian kebijakan kelautan secara partisipatif dengan stakeholder dalam rangka pemberdayaan masyarakat pesisir sangat diperlukan.
Masyarakat pesisir memerlukan bentuk kegiatan nyata yang dapat membangun ekonomi mereka tanpa menghilangkan kultur dan karakteristik dari masyarakat pesisir tersebut. Maka diperlukan bentuk kegiatan yang berbasis masyarakat. Berdasarkan Undang-Undang no.22 tahun 1999 tentang desentralisasi dan otonomi daerah yang memberikan wewenang kepada daerah untuk mengurus sendiri segala urusan daerahnya. Begitu juga dengan wilayah pesisir, ketua masyarakat atau kepala suku dapat bekerjasama dengan penduduk untuk mengurus pesisir dan lautnya sesuai dengan adat mereka. Namun, disamping itu masyarakat pesisir harus bekerjasama juga dengan pemerintah atau BPL (Badan Penyuluhan Lapangan) untuk memberikan pendidikan dan pengetahuan kepada masyarakat supaya pengelolaan sumberdaya alam lingkungan laut dapat termanfaatkan dengan baik dan lestari.
Pemerintah atau pihak luar harus memberikan wewenang kepada masyarakat dengan memberikan tanggungjawab penuh kepada masyarakat dalam pelaksanaan, pemantauan, penegakan aturan dan memberikan kesempatan terhadap masyarakat untuk mengemukakan strategi sesuai dengan keinginan mereka. Dewasa ini ada program yang belum banyak ditemukan di Indonesia yaitu Program Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat (PSWP-BM). Program ini memiliki kapasitas dalam memperbaiki kualitas hidup mereka sendiri dan mampu mengelola sumberdaya mereka dengan baik (Tulungen dalam ,….). Partisipasi masyarakat terhadap kegiatan pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat akan berjalan secara berkelanjutan berdasarkan tingkat pengendalian stakeholder. Ada beberapa pendekatan yang dilakukan untuk mengetahui posisi masyarakat.
Pertamacommand and control, model ini merupakan model yang memberikan wewenang seluas-luasnya terhadap pemerintah sehingga prosesnya berlangsung secara sentralistik. Kedua, model CBM, dalam model ini (masyarakat terdidik) nelayan atau pelaku usaha perikanan yang mempunyai wewenang untuk mengelola sumberdaya sepenuhnya. Terakhir adalah model co-management, model ini sama-sama melibatkan antara pemerintah dan masyarakat (nelayan) dalam mengelola sumberdaya”(Satria, 2002). Proses pengelolaan sumberdaya yang dilaksanakan dengan program PSWP-BM dan model-model pendekatan terhadap masyarakat pesisir, dapat memberikan keleluasan terhadap masyarakat pesisir yang karakternya cenderung keras dan tegas dalam mengembangkan keahlian mereka secara optimal. Selain itu, baik kegiatan atau program yang dicanangkan oleh pemerintah harus bersifat fleksibel, agar dapat disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat.

Kesimpulan
Masyarakat pesisir merupakan suatu komunitas yang hidup di wilayah pesisir dan menggantungkan hidupnya dengan sumberdaya pesisir. Masyarakat pesisir termasuk masyarakat yang masih terbelakang dan berada dalam posisi marginal. Selain itu, banyak dimensi kehidupan yang tidak diketahui oleh orang luar tentang karakteristik masyarakat pesisir. Masyarakat pesisir mempunyai cara berbeda dalam aspek pengetahuan, kepercayaan, peranan sosial, dan struktur sosialnya. Sementara itu, dibalik kemarginalannya, masyarakat pesisir tidak mempunyai banyak cara dalam mengatasi masalah yang hadir. Masalah kompleks yang dihadapi masyarakat pesisir adalah kemiskinan, keterbatasan pengetahuan untuk pengelolaan sumberdaya dan teknologi, serta peran aktif antara pihak luar dengan masyarakat pesisir sehingga dapat menghidupkan kualitas dan keterampilan masyarakat pesisir tanpa melunturkkan karakter budayanyaMasyarakat pesisir yang memiliki karakter tegas, keras, dan terbuka memerlukan berbagai strategi dan kegiatan.yang bersifat fleksibel agar dapat berubah sesuai dengan kondisi dan kebutuhan mereka. Pemberdayaan masyarakat berbasis masyarkat merupakan salah satu cara untuk mengatasi kemiskinan dan ketidakberdayaan yang dialami oleh masyarakat pesisir khususnya para nelayan. Program-program yang telah dilakukan pemerintah untuk pemberdayaan masyarakat pesisir telah banyak menghasilkan manfaat dan membantu meningkatkan pendapatan masyarakat. Namun, tidak sedikit pula program-program yang tidak berhasil karena tidak sesuai dengan harapan masyarakat dan tidak ada keberlanjutan dari masyarakat.


Saran
Pada dasarnya masyarakat pesisir tidak hanya termarginalkan dalam hal geografis, tetapi juga dalam hal keterlibatan dengan pihak luar. Oleh karena itu, untuk menghadapi berbagai konflik dan masalah yang tak kunjung reda pada masyarakat pesisir, diperlukan adanya suatu integrasi dan kerjasama antara pihak terdidik baik suatu lembaga ataupun pemerintah dengan masyarakat pesisir untuk memberikan pendidikan dan kegiatan nyata yang berkelanjutan yang dibutuhkan masyarakat. Masyarakat pesisir bukan suatu obyek yang hanya patut diteliti tentang berbagai ketimpangan yang terjadi didalam masyarakat tersebut dan kemudian dibela. Namun, masyarakat pesisir memerlukan suatu kegiatan yang tidak bersifat advokasi melainkan suatu fasilitator yang dapat menampung aspirasi mereka. Olek karena itu, untuk pihak luar yang bekerja sama dengan masyarakat pesisir hanya patut mendengarkan, dan mendampingi mereka serta memberikan alternative pemecahan masalah karena masyarakat pesisir sendirilah yang akan memperbaiki kualitas hidup mereka.

SUMBER : http://www.google.co.id/search?q=masalah+masyarakat&ie=utf-8&oe=utf-8&aq=t&rls=com.yahoo:id:official&client=firefox

0 komentar: